Jumat, 27 Desember 2019

Perkembangan Landelijk stelsel (Sistem sewa tanah) pada masa pemerintahan Raffles dan Van der Capellen di Jawa tahun (1811-1826)


Perkembangan Landelijk stelsel (Sistem sewa tanah) pada masa pemerintahan Raffles dan Van der Capellen di Jawa tahun (1811-1826)
Oleh:
SATRIA ISKANDAR
1403617001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH, FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
ABSTRAK
            Pada penulisan artikel kali ini. Saya akan mengangkat judul tentang Perkembangan Landelijk stelsel (Sistem sewa tanah) pada masa pemerintahan Raffles di Jawa tahun (1811-1826). Judul ini sangat menarik karena bagi saya. Masih banyak orang bahkan saya sendiri yang pada awalnya kurang paham akan perkembangan sistem ini dan dampaknya bagi kehidupan Indonesia masa mendatang. Dalam artikel ini kita akan membahas tentang permulaan bagaimana Jawa jatuh ke tangan Inggris dan kemudian bagaimana perkembangan dari sistem sewa tanah yang di berlakukan oleh Raffles pada saat itu yang menjadi Gubernur Jenderal untuk Inggris di Nusantara.
Pada penerapaanya kita yang kebanyakan kita tahu bahwa sistem ini adalah sistem yang dipakai pemerintahan kolonial Inggris di India, kemudian oleh Raffles mencoba untuk menerapkannya di Nusantara, terutama di Jawa. Namun pada kenyataanya sistem ini kurang berjalan dengan baik. Selain karena faktor rakyat Jawa yang kurang paham dalam pemakaiannya, masih banyak kekacauan lain yang terjadi, seperti kurangnya anggota pengawas pajak yang diberlakukan, masih banyak penyelewengan pada sistem ini yang membuat rakyat sengsara, dan masih kuatnya sistem feodal di tanah Jawa. Hingga akhirnya pada masa akhir Raffles menggunakan sistem lama Pemerintahan Kolonial VOC. Kemudian setelah kembali ke tangan pemerintahan Belanda. Sistem ini masih tetap dipakai hingga De Bush sampai 1830. Van der Capellen yang saya angkat pada judul merupakan gubernur jenderal Belanda pertama setelah beralih dari Inggris ke Belanda. Pada masa pemerintahannya, sistem Raffles yang biasa disebut sistem sewa tanah diberlakukan kembali dengan bantuan modal asing dan pelaksanaan pembayaran sewa tanah per kepala desa.











PENDAHULUAN
Dalam penulisan kali ini, saya sangat tertarik untuk membahas lebih dalam tentang sistem sewa tanah yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial Inggris di Nusantara. Hal ini dikarenakan banyak hal yang masih perlu dikaji dan ditelusuri lebih dalam tentang bagaimana perkembangan sistem tersebut dan apakah baik atau buruk bagi perkembangan Nausantara.
Tahun 1811, tepatnya setelah perjanjian Tutang pada 18 September 1811 dan ketika itu Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens tak mampu menahan serangan Inggris di Jawa, maka dengan begitu kekuasaan Belanda di Nusantara beralih ke tangan Inggris. Kekuasaan itu meliputi Jawa, Sumatera, Madura, Sunda Kecil, Banjarmasin, Makassar, dan Madura. Tangkup kepemimpinan di Hindia Belanda itu dipegang oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.[1] Sistem sewa tanah yang diberlakukan di Indonesia dibawa oleh Raffles dari merlihat perkembangan kebijakan itu di India. Hal itu yang menyebabkan Raffles berusaha untuk mengadakan suatu pembaharuan yang bersifat liberal.[2]
Sistem sewa tanah ini berlangsung dari tahun 1811 hingga 1830. Walaupun pada akhirnya sistem ini berjalan kurang baik dan digantikan dengan sistem tanam paksa pada masa pemerintahan van den Bosch. Namun sistem ini merupakan sistem yang mampu memberikan warna baru dalam diri  Nusantara, baik dari segi politik maupun ekonomi. Tidak semua daerah di Nusantara menerima dampak dari sistem sewa tanah ini. Ada beberapa daerah yang tidak dikenakan sistem ini daiantaranya adalah daerah sekitar Batavia dan Parahyangan, Jawa Barat.[3] Rumusan masalah yang akan diangkat adalah: Mengapa sistem sewa tanah diberlakukan di Nusantara? Bagaimana perkembangan sistem sewa tanah masa pemerintahan Raffles hingga Van der Capellen?


A.          Permulaan masuk dan penerapan sistem sewa tanah di Jawa.
Masuknya sistem sewa tanah dimulai pada masa pemerintahan Raffles di Nusantara. Kala itu pemerintahan kolonial Inggris telah berhasil menduduki Jawa dan mengambil alih kekuasaan Nusantara dari Belanda-Prancis. Sejak perjanjian Tuntang Capitulatie van  Tuntang, semua kekuasaan Belanda di Nusantara dikuasai Inggris. Perjanjian itu berisi:
1.            Seluruh tanah di Pulau Jawa diserahkan kepada Inggris.
2.            Seluruh militer Belanda dianggap sebagai tawanan.
3.            Inggris tidak mengambil tanggungan atas perutangan Hindia Belanda.
4.            Semua pegawai yang ingin bekerja pada pemerintah Inggris boleh tetap pada pekerjaannya.[4]
Lord Minto, merupakan gubernur jenderal Inggris di India. Kala itu setelah penanda tanganan Kapitulasi Tuntang, maka dia menunjuk Sir Thomas Stamford Raffles sebagai pemimpin di Inggris di Jawa dan daerah bawahannya; Palembang, Makassar, Banjarmasin, dan Maluku.[5]
Berbeda dengan sistem VOC yang memanfaatkan para raja dan bupati setempat untuk mendapatkan hasil bumi dan alat kebijaksanaan perdagangannya. Raffles lebih menerapkan sistem liberal. Pengamatan Raffles itu didapat setelah melihat sistem yang dirasa kurang menuntungkan sejak zaman VOC sebelumnya. Sistemnya ini lebih menutamakan agar para petani lebih leluasa dalam menanam tanaman dagang untuk di ekspor.[6]
Kegagalan yang dialami VOC dengan sistemnya, membuat Raffles juga menyatakan bahwa perubahan sistem ke liberal merupakan hal yang tepat, selain karena pengalamannya melihat perkebangan sistem itu di India, sistem liberal sendiri lebih berkembang dan maju di negara Inggris ketimbang di Belanda.[7]
B.           Perjalanan dan perkembangan sistem sewa tanah di Jawa
Adapun sebagai awalan, Raffles memiliki tiga azas dalam melaksanakan sistemnya tersebut, yaitu yang pertama adalah penyerahan wajib dalam berbagai bentu serta kerja rodi bagi masyarakat dihapuskan. Hal ini dilihat karena terlalu menyengsarakan rakyat. Sebagi gantinya, rakyat diberi kebebasan dalam menentukan tanaman yang hendak ditanam di tanah mereka atau tanah sewaan. Yang kedua adalah para bupati tidak lagi berperan sebagai pemungut pajak. Mereka merupakan kesatuan dari pemerintah kolonial untuk mensejahterakan rakyat dibawah fungsi-fungsi pemerintahan. Yang ketiga adalah khusus bagi petani yang hendak menggarap tanah. Tanah yang digarap untuk tanaman dianggap sebagai tanah pemerintah. Maka para petani haruslah setidaknya membayar sewa tanah (land-rent) untuk itu karena petani dianggap sebagai penyewa tanah (tenant).[8] Selain itu, pembaruan sistem pemilikan tanah oleh raja dan pemerintah lokal ke pemerintah merupakan sebuah revolusi. Karena pemerintah yang menyewakan tanah, maka akan mendapat pemasukan, baik dari pelaku ekonomi manapun (Swasta Eropa atau China).[9]
Sistem sewa tanah pada masa itu mulailah dijabarkan dengan beberapa kebijakan yang berubah, seperti penghapusan kerja rodi, wajib pajak, dan lain-lain. Pajak yang diharapkan dapat dihasilkan adalah pajak yang berasal dari sewa tanah oleh rakyat kepada pemerintah. Tergantung seberapa luas dan kesuburan tanah yang akan digarap. Jumlahnya akan ditentukan antara seperempat sampai sepertiga hasil tanah.[10] Semula, telah dilakukan penelitian berulang-ulang kali, baik mengambil langkah berdasarkan penelitian zaman Daendels atau penelitian ulang. Penelitan pada zaman Daendels dirasa kurang lengkap, maka dari itu diadakan penelitian ulang tentang kondisi hak milik tanah di Jawa. Namun penelitian itu tetap saja ada kesalahannya, hal itu karena telah berkembangnya adat istiadat atau pranata-pranata yang berbeda di Jawa.[11] Setelah pengkajian lebih dalam, Raffles menemukan bahwa terdapat kesamaan antara Benggala dengan Jawa dalam konteks kondisi sosial, maka dari itu dia memperkenalkan sistem tersebut yang dilaksanakan oleh Perusahaan India Timur di India ke Jawa. Berdasarkan teori bahwa semua hak milik tanah di seluruh negeri adalah sah milik penguasa berdaulat.[12] Pada dekrit yang dia keluarkan, 15 Oktober 1813, dinyatakan pemerintah akan menyewakan tanah kepada kepala-kepala desa yang kemudian akan menyewakan kembali pada perseorangan dengan harga yang tidak menyulitkan rakyat. Penyewa akan dilindungi oleh pemerintah dengan adil.[13]
Penerapannya pada tahun-tahun pertama membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Dalam perjalanan awalnya, sistem ini diterangkan bahwa setiap penyewa harus memiliki catatan sewa yang disimpan oleh kepala desa dan kepala desa harus memaparkan data sewa yang jelas kepada tiap penyewa tanah tersebut. Desa haruslah memilih kepala desa yang mampu memutuskan beban pajak yang adil kepada penduduk. Penerapan metode ini mencoba menipiskan pengaruh bupati yang aristokratik dengan perantara administrasinya dalah kepala desa.[14]
Jika pada mulanya Raffles melaksanakan kebijakannya dengan perantara kepala desa, setahun kemudian, tepatnya tahun 1814, Raffles mengubah pendapatnya dan rencananya dengan pemikiran yang berbeda. Menurutnya pemungutan pajak haruslah langsung berhubungan dengan tiap rakyat yang menyewa.[15] Proses menjalankan sistem yang baru ini memerlukan informasi yang rinci tentang luas dan mutu tanah (kadaster). Ditambah dengan 12 orang yang mengkoordinasi dan merancang informasi, serta penunjukan resident sebagai pelaksana. Mereka dibantu juru ukur (surveyor) dan pemungut pajak (collector).[16]
Raffles berusaha untuk dapat berhubungan langsung dengan rakyat dalam menjalankan pemerintahannya. Karena menurutnya, sistem feodal sudah sangat kuat melekat dalam ikatan atara rakyat dengan pemimpinnya. Tentunya dia ingin berusaha menghilangkan kekuasaan mutklak itu dan pengaruh bupati terhadap rakyatnya agar menurun. Dalam usaha agar dapat tercapainya keinginan tersebut, maka Raffles menempatkan bupati sebagai pegawai umum pemerintah dibawah pengawasan residen. Sistem pergantian bupati yang secara turun-temurun tidak diakui dan hak untuk mengadili dicabut, tugas itu diberikan kepada residen yang memimpin. Namun hak untuk memungut pajak tidak diganggu gugat.[17] Dibeberapa daerah, para bupati benar-benar dijadikan pegawai biasa dibawah pemerintahan. Seperti contohnya adalah Bupati Sukapura, Raden Demang Anggadipa (1807-1811) dipecat karena tidak melaksanakan perintah penanaman nila. Kejadian itu membuat daerah itu dihapus dan digabung ke wilayah Kabupaten Limbangan. Dari berbagai tindakan yang didapat oleh bupati itu membuat terjadinya banyak pergolakan.[18] Pergolakan yang terjadi merupakan akibat Preangerstelsel yang ternyata masih berlaku atau diberlakukan lagi sejak zaman Daendels. Akibat dari tindakan Raffles itu, mulailah salah satu sebab-sebab kegagalan kolonialisasi untuk mencapai keuntungan. Tindakan itu pula berdampak pada sistem sewa tanah yang dijalankan.[19]
Dalam penerapan sistem sewa tanah yang terbaru itu ternyata tidak berjalan sesuai rencana dan tak sebagus yang diharapkan. sangat jelas jika dilihat dari pengawasan yang hanya mengandalkan 12 orang tenaga inti. Kekacauan yang terjadi di lapangan membingungkan pejabat Eropa terutama resident. Kekacauan didasari beberapa faktor, hampir semua kepala desa mengalami buta huruf, tentunya menyebabkan kesulitan pendataan dalam mengisi data dan perhitungan, alhasil data yang diberikan tak sedikit yang mengarang.[20] Selain itu, para petani dalam hal menentukan tanaman apa yang akan ditanam, apa yang harus di lakukan, dan bagaimana cara pengumpulan pajak sudah terbiasa dengan dimobilitasi oleh bupati mereka (kekuasaan tradisionil). Seringkali penyewaan dan penggunaan tanah justru jatuh ketanggan kekuasaan saudagar China. Karena para petani tak dapat memperoleh uang tunai, maka mereka meminjam ke saudagar China dengan bunga besar. Mereka masih belum paham apa itu bunga yang nantinya akan memberatkan mereka. Akibat dari gagal panen itu membuat tanah tersebut jatuh ke tangan penguasa China.[21] Akibat dari kegagalan itu, Raffles kembali ke sistem lama untuk mengisi kas dan mendapat keuntungan dengan penyerahan wajib dan kerja wajib.
Sepeninggal Raffles 1816 dan penggantinya John Fendall, Nusantara dikembalikan kepada Belanda. Pada pimpinan setelahnya, yaitu Gubernur Jenderal Van der Capelllen. Penghapusan sistem feodal dilakukan, tapi tidak didaerah sekitar tanah partikelir Jakarta, Priangan, dan Vorstenlanden yang memeang menguntungkan. Melihat pemakaian sistem pajak tanah yang sedang berkembang sebelumnya kurang baik. Sistem yang diterapkan hampir sama dengan sistem Daendels dan Raffles, yaitu pengambilan pajak dari sewa tanah. Namun Capellen memutuskan untuk mengambil pajak tanah dalam bentuk kolektif dari kepala desa. Hal itu bahkan menyengsarakan rakyat karena kembali lagi banyak penindasan terhadap rakyat.[22]




KESIMPULAN
Penerapan sistem liberal oleh Raffles adalah caranya agar mampu memperbaiki Nusantara, terutama Jawa, dari keterpurukan pada zaman pemerintanah kolonial Belanda (VOC). Sistem yang memberikan kebebebasan untuk para petani dalam menggarap tanahnya diharapkan dapat membuka pasar perdagangan bebas seperti yang dilakukan di India. Pemerintah kolonial akan mendapatkan tambahan kas dari pajak yang didapat dari penyewaan tanah para petani dan hasil dari ekspor tanaman. Hanya beberapa daerah seperti Parahiyangan yang dijadikan tanah feodal dan tetap menerapkan tanam wajib yaitu kopi sebagai komoditas ekspor utama.
Penerapan yang diharapkan itu berjalan kurang baik karena pengamatan yang tidak tepat seperti kurang adanya tenaga untuk mengawasi jalannya sistem itu, kebutaan penduduk akan sistem baru, dan lain sebagainya. Hal itu kurang dicermati oleh Raffles yang hanya bernaggapan bahwa Jawa sama seperti India (Benggala). Sistem yang berusaha menghapus unsur feodal ini kurang mampu diterapkan karena telah mengikat kuat di masyaratak Jawa dan itu adalah hambatan tersulit pula oleh pemerintah kolonial.
Sistem sewa tanah ini berlanjut hingga zaman komisaris jenderal dan kembali ke tangan pemerintah Belanda 1830. Pada masa pimpinan Gubernur Jenderal Van der Capellen, sistem ini sedikit diubah dengan penyewaan tanah ke pihak swasta dan penarikan pajak yang awalnya perseorangan menjadi kolektif perdesa.





DAFTAR PUSTAKA
Biegman, G. J. F. Hikajat Tanah Hindia. Batawi: Goebernemen, 1894.
Breman, Jan. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa diMasa Kolonial. Jakarta: LP3ES, 1983.
Burger, D.H. De Ontsluiting van Java’s Binnenland voor Wereldverkeer (Wageningen: Venman & Zoon, 1939).
Clive Day. The Policy and Administration of the Dutch in Java. (New York, London, Melbourne: Macmillan, 1904).
Irsyam, Tri Wahyuning M. Tempat-Tempat Bersejarah di Depok. Depok: Humas Depok
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Yogyakarta: Ombak,  2017.
                                dan Dr. Djoko Suryo. Sejarah Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media, 1991
Lubis, Nina H. Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta: LP3ES, 2004.
Pemerintah Daerah Tingkat 1 Provinsi Jawa Barat. Sejarah Pemerintahan Jawa Barat. Bandung: Pemerintah Daerah, 1992.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia 4. Jakarta: Balai Pustaka, 1993
Ricklefs, M. C.  Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2007.
Simbolon, Parakitri T. Menjadi Indonesia: Akar-Akar Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Kompas, 1995.
Sjafii, Drs. Indonesia Pada Masa Pemerintahan Raffles. Bandung: PT. Sanggabuwana, 1976.
Suroyo, A. M. Djuliati, Eksploitasi Kolonial abad XIX. Kerja Wajib di Keresidenan Kedu 1800-1890. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000.
Suryo, Prof. Dr. Djoko dan Prof. Dr. Nina Herlina. Indonesia dalam Arus Sejarah jilid 4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.
Vlekke,  Bernard H.M. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2008.



[1] Parakitri T, Simbolon. Menjadi Indonesia: Akar-Akar Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Kompas, 1995, hlm. 90
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 67.
[4] Pemerintah Daerah Tingkat 1 Provinsi Jawa Barat. Sejarah Pemerintahan Jawa Barat. Bandung: Pemerintah Daerah, 1992, hlm. 248.
[5] Drs. Sjafii. Indonesia Pada Masa Pemerintahan Raffles. Bandung: PT. Sanggabuwana, 1976, hlm. 25.
[6] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia 4. Jakarta: Balai Pustaka, 1993, hlm. 90.
[7] Sartono Kartodirdjo. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Yogyakarta: Ombak,  2017, hlm. 342
[8] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, loc. cit.
[9] D.H. Burger, De Ontsluiting van Java’s Binnenland voor Wereldverkeer (Wageningen: Venman & Zoon, 1939), hlm 57-59.
[10] Drs. Sjafii, op. cit., hlm. 34.
[11] Bernard H.M. Vlekke. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2008, Hlm. 299.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hlm. 300.
[14] Ibid., hlm. 300-301.
[15] Parakitri T, Simbolon, op. cit., hlm. 95.
[16] Ibid.
[17] Pemerintah Daerah Tingkat 1 Provinsi Jawa Barat, op. cit., hlm. 250.
[18] Ibid., hlm. 251.
[19] Ibid., hlm. 264.
[20] Parakitri T, Simbolon, op. cit., hlm 96.
[21] Clive Day, The Policy and Administration of the Dutch in Java. (New York, London, Melbourne: Macmillan, 1904), hlm. 164-190.
[22] PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Indonesia dalam Arus Sejarah jilid 4. Jakarta: hlm. 167.

1 komentar: